BAB
II
TINJAUAN
TEORI
A. Definisi
Epistasis
Epistaksis adalah keluarnya darah
dari hidung yang penyebabnya bisa lokal atau sistemik. Perdarahan bisa ringan
sampai serius dan bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Sumber
perdarahan biasanya berasal dari bagian depan atau bagian belakang hidung. Epistaksis atau pendarahan dari rongga hidung
sering dijumpai dan sebagian besar akan berhenti oleh tindakan sederhana
seperti penekanan hidung. Meskipun demikian adapula kasus-kasus besar yang
memerlukan pertolongan segera agar tidak berakibat fatal.
1.
Epistaksis ringan biasanya
berasal dari bagian anterior hidung, umumnya mudah diatasi dan dapat berhenti
sendiri.
2.
Epistaksis berat berasal dari
bagian posterior hidung yang dapat menimbulkan syok dan anemia serta dapat
menyebabkan terjadinya iskemia serebri, insufisiensi koroner dan infark miokard
yang kalau tidak cepat ditolong dapat berakhir dengan kematian. Pemberian infus
dan transfusi darah serta pemasangan tampon atau tindakan lainnya harus cepat
dilakukan. Disamping itu epistaksis juga dapat merupakan tanda adanya
pertumbuhan suatu tumor baik ganas maupun jinak. Ini juga memerlukan
penatalaksanaan yang rinci dan terarah untuk menegakkan diagnosis dan
menentukan modalitas pengobatan yang terbaik.
Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan
posterior (belakang). Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari bagian
depan hidung dengan asal perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach.
Epistaksis posterior umumnya berasal dari rongga hidung posterior melalui
cabang a.sfenopalatina. Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang
jelas berupa perdarahan dari lubang hidung. Epistaksis posterior seringkali
menunjukkan gejala yang tidak terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk
darah, anemia dan biasanya epistaksis posterior melibatkan pembuluh darah besar
sehingga perdarahan lebih hebat.
B.
Etiologi
Pada
banyak kasus, tidak mudah untuk mencari penyebab terjadinya epistaksis.
Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa diketahui penyebabnya, kadang-kadang
jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal
pada hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan
anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh
udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan
darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan
kelainan kongenital.1 Etiologi epistaksis dapat dari banyak faktor,
berikut penjelasannya :
Faktor
Lokal
Beberapa faktor lokal
yang dapat menyebabkan terjadinya epistaksis antara lain :
·
Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena
trauma ringan misalnya mengorek hidung, benturan ringan, bersin atau
mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang lebih hebat
seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaanlalu lintas. Selain itu juga bisa
terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan. Epistaksis
sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam. Perdarahan dapat
terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila
konka itu sedang mengalami pembengkakan.
·
Obat semprot hidung (nasal spray)
Penggunaan
obat semprot hidung secara terus menerus, terutama golongan kortikosteroid,
dapat menyebabkan epistaksis intermitten. Terdapat kerusakan epitel pada septum
nasi. Epitel ini akan mudah berdarah jika krusta terlepas. Pemakaianfluticasone
semprot hidung selama 4-6 bulan, belum menimbulkan efek samping pada
mukosa.
·
Kelainan anatomi: adanya spina, krista
dan deviasi septum.
·
Tumor intranasal atau sinonasal. Sering
ditandai dengan adanya riwayat epistaksis yang berulang.
·
Iritasi zat kimia, obat-obatan atau
narkotika. Seperti dekongestan topikal dan kokain.
·
Iritasi karena pemakaian oksigen: Continuous
Positive Airway Pressure (CPAP).
·
Kelainan vaskuler. Seperti kelainan yang
dikenal dengan Wagener’s granulomatosis (kelainan yang didapat).
·
Sindrom Rendu Osler Weber (hereditary
hemorrhagic telangectasia) merupakan kelainan bawaan yang diturunkan secara
autosom dominan. Trauma ringan pada mukosa hidung akan menyebabkan perdarahan
yang hebat. Hal ini disebabkan oleh melemahnya gerakan kontraktilitas pembuluh
darah serta terdapatnya fistula arteriovenous.
·
Efek sistemik obat-obatan golongan
antikoagulansia (heparin, warfarin) dan antiplatelets (aspirin,
clopidogrel).
Faktor Sistemik
Hipertensi tidak berhubungan secara
langsung dengan epistaksis. Arteriosklerosis pada pasien hipertensi membuat
terjadinya penurunan kemampuan hemostasis dan kekakuan pembuluh darah. Penyebab epistaksis yang bersifat sistemik
antara lain:
·
Sirosis
hepatis.
·
Atheroslerosis,
hipertensi dan alkohol.
·
Kelainan hormonal. Seperti kelebihan
hormone adrenokortikosteroid atau hormone mineralokortikoid, pheochromocytoma,
hyperthyroidism atau hypothyroidism, kelebihan hormon pertumbuhan
dan hyperparathyroidism. 8
Termasuk
etiologi sistemik lain
·
Lebih jarang terjadi adalah
gangguan keseimbangan hormon misalnya pada kehamilan, menarke dan menopause
·
kelainan kongenital misalnya
hereditary hemorrhagic Telangieclasis atau penyakit Rendj-Osler-Weber;
·
Peninggian tekanan vena seperti
pada ernfisema, bronkitis, pertusis, pneumonia, tumor leher dan penyakit
jantung pada pasien dengan pengobatan antikoagjlansia.
Sumber
Perdarahan :
Sumber
perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior rongga hidung.
Epistaksis anterior
·
Berasal dari pleksus Kiesselbach atau
a.etmoidalis anterior. Perdarahan biasanya ringan, mudah diatasi dan dapat
berhenti sendiri.
·
Pada saat pemeriksaan dengan lampu
kepala, periksalah pleksus Kiesselbach yang berada di septum bagian anterior
yang merupakan area terpenting pada epistaksis. la merupakan anastomosis cabang
a.etmoidalis anterior, a.sfenopaltina, a. palatina asendens dan a.labialis
superior. Terutama pada anak pleksus ini di dalam mukosa terletak lebih
superfisial, mudah pecan dan menjadi penyebab hampir semua epistaksis pada
anak.
Epistaksis posterior
Perdarahan
biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri. Umumnya berasal dari
a.sfenopalatina dan a.etmoidalis posterior. Sebagian besar darah mengalir ke rongga
mulut dan memerlukan pemasangan tampon posterior untuk mengatasi perdarahan.
Sering terjadi pada penderita usia lanjut dengan hipertensi.
C. Manifestasi klinis
1) Darah keluar dari hidung dengan
menetes atau mengalir dengan deras
2) Darah dapat juga keluar lewat lubang
bagian belakang yang terus menerus mengalir pada mulut dapat seperti muntahan
sarah
3) Adanya tanda – tanda penyebab diatas
D.
Patofisiologi
Terdapat dua sumber perdarahan yaitu bagian anteroir
dan posterior pada epistaksis anterior perdarahan berasal dari pleksus
kieselbach ( yang paling banyak terjadi dan sering ditemukan pada anak-anak ),
atau dari arteri etmoidalis anterior. Biasanya perdarahan tidak begitu hebat
dan bila pasien duduk darah akan keluar melalui lubang hidung. Sering kali
dapat berhenti spontan dan mudah diatasi. Pada epistaksis posterior, pendarahan
berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior. Espiktasis
posterior sering terjadi pada pasien usia lanjut yang menderita hipertensi,
arteriosklerosis, atau penyakit kardiovaskuler. Pendarahan biasanya hebatdan
jarang berhenti spontan. Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada
orang yang berusia menengah dan lanjut, terlihat perubahan progresif dari otot
pembuluh darah tunika media menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut
bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang komplet menjadi
jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh
darah karena hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan yang
banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan
setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah.
Kelemahan dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.
Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu:
1. Epistaksis
anterior
Merupakan
jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada anak-anak dan
biasanya dapat berhenti sendiri. Perdarahan pada lokasi ini bersumber dari pleksus
Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh
darah di septum bagian anterior tepat di ujung postero superior vestibulum
nasi. Perdarahan juga dapat berasal dari bagian depan konkha
inferior. Mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan melekat erat pada tulang
rawan dibawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi
dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi patologik lainnya dan selanjutnya
akan menimbulkan perdarahan .
2. Epistaksis
posterior
Epistaksis
posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid posterior.
Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering
ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan
penyakit kardiovaskuler. Thornton (2005) melaporkan 81% epistaksis posterior
berasal dari dinding nasal lateral.
E.
WOC
F.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium :
Jika perdarahan sedikit dan tidak berulang, tidak perlu dilakukan
pemeriksaan penunjang. Jika perdarahan berulang atau hebat lakukan pemeriksaan
lainnya untuk memperkuat diagnosis epistaksis.
1.
Pemeriksaan darah lengkap
2.
Fungsi hemostatis
3.
EKG
4.
Tes fungsi hati dan ginjal
5.
Pemeriksaan foto hidung, sinus
paranasal, dan nasofaring.
6.
CT scan dan MRI dapat diindikasikan
untuk menentukan adanya rinosinusitis, benda asing dan neoplasma.
G.
Penatalaksanaan Medis
Mempunyai prinsip :
1.
Menghentikan pendarahan
2.
Mencegah komplikasi
3.
Mencegah berulang dan mencari penyebab
Penatalaksanaan :
Tentukan asal pendarahan dengan memasang tampon yang dibasahi adrenalin
1/1000 dan pontokain 2%, dibantu dengan alat penghisap. Sedapat mungkin
penderita dalam posisi duduk.
Bila ternyata
pendarahan berasal dari anterior :
Pasang kembali tampon yang dibasahi adrenalin 1/1000 dan pontokain 2 %
selama 5-10 menit, dan ala nasi ditekan kearah septum.
Setelah tampon
diangkat, asal perdarahan dikaustik dengan larutan AgNO3 20-30 %
atau asam trikloroasetat 2-6 % atau dengan elektrokauter.
Bila masih berdarah,
pasang tampon anterior yang terdiri dari kapas atau kasa yang diberi boorzalf
atau bismuth iodin ffin paste ( bipp) tampon ini dipertahankan selama 1-2 hari
( bila menggunakan boorzalf ) atau 3-4 hari ( bila menggunakan bipp ).
Bila ternyata perdarahan berasal dari posterior :
1.
Coba atasi dengan kaustik dan tampon
anterior ( lihat diatas )
2.
Bila gagal pasang tampon posterior (
beloceki ) : caranya :
- tampon ini terdiri dari gulungan kasa yang mempunyai
dua benang disatu ujung dan satu benang diujung lain.
- masukkan kateter karet dari nares anterior kedalam sampai tampak
diorofaring dan ditarik keluar melalui mulut.
- pada ujung kateter diikatkan salah satu dari dua benang yangb ada pasda
satu ujung dan kateter ditarik kembali melalui hidung. Dengan cara yang sama
benang yang lain dikeluarkan melalui hidung yang lain.
- kemudia kedua benang yang telah keluar melalui lubang hidung ituditarik,
sedangkan telunjuk tangan yang lain membantu mendorong tampon kearah
nasofaring, sampai tepat menutup koana
- lalu kedua benang itu diikat pada t\tampon lain yang terletak dekat sekat
rongga hidung. Benang dari ujung lain dikeluarkan melalui mulut dan dilekatkan
secar longgar dipipi, benang ini berguna untuk menarik keluar tampon bila kan
dilepas.
- bila perlu dapat dipasang pula tampon anterior.
- penderita harus dirawat dan tampon diangkat setelah 1 sampai 2 hari.
Berikan antibiotik.
Bila perdarahan
menetap walaupun telah dilakukan tindakan diatas, pertimbangkan operasi ligasi
arteri :
1.
untuk perdarahan anterior dilakukan
ligasi arteri etmoidalis anterior dengan membuat sayatan dari bagian medial
alis mata kebawah sepanjanng jembatan hidung sampai sedikitdibawah kantus
internus ; setelah jaringan dipisahkan akan tampak arteri etmoidalis anterior.
8. untuk perdarahan posterior dilakukan ligasi arteri
maksilaris interna dengan membuat sayatan dilipatan gingivobukal seperti pada
oprasi cald well luc, setelah memasuki sinus maksilaris dinding posterior sinus
diangkat sehingga tampak arteri maksilaris interna dan cabang-cabangnya diposa
pterigomaksilaris.
H.
Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan gawat darurat menjaga abc :
ü A : airway : pastikan jalan napas
tidak tersumbat/bebas, posisikan duduk menunduk.
ü B : breathing: pastikan proses
bernapas dapat berlangsung, batukkan atau keluarkan darah yang mengalir ke
belakang tenggorokan
ü C : circulation : pastikan proses
perdarahan tidak mengganggu sirkulasi darah tubuh, pastikan pasang jalur infus
intravena (infus) apabila terdapat gangguan sirkulasi.
Posisikan pasien dengan duduk menunduk untuk mencegah darah menumpuk di daerah faring posterior sehingga mencegah penyumbatan jalan napas.
Posisikan pasien dengan duduk menunduk untuk mencegah darah menumpuk di daerah faring posterior sehingga mencegah penyumbatan jalan napas.
Ø Hentikan perdarahan
§ Tekan pada bagian depan hidung
selama 10 menit.
§ Tekan hidung antara ibu jari dan
jari telunjuk.
§ Jika perdarahan berhenti tetap
tenang dan coba cari tahu apa faktor pencetus epistaksis dan hindari.
Ø Jika perdarahan berlanjut :
§ Dapat akibat penekanan yang kurang
kuat
§ Bawa ke fasilitas yang
§ Dapat diberikan vasokonstriktor
(adrenalin 1:10.000, oxymetazolin-semprot hidung) ke daerah perdarahan.
Apabila masih belum teratasi dapat dilakukan kauterisasi elektrik/kimia (perak nitrat) atau pemasangan tampon hidung.
Apabila masih belum teratasi dapat dilakukan kauterisasi elektrik/kimia (perak nitrat) atau pemasangan tampon hidung.
I. Primary
Survey Kegawatdaruratan
Primary
survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian
dan manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam
kehidupan. Tujuan dari Primary survey adalah untuk
mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam kehidupan.
Prioritas yang dilakukan pada primary
survey antara lain (Fulde, 2009) :
·
Airway
maintenance dengan cervical spine protection
·
Breathing
dan oxygenation
·
Circulation
dan kontrol perdarahan eksternal
·
Disability-pemeriksaan
neurologis singkat
·
Exposure
dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan
primary survey bahwa setiap langkah
harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah berikutnya hanya dilakukan
jika langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan berhasil. Setiap anggota
tim dapat melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai sebuah tim dan anggota yang
telah dialokasikan peran tertentu seperti airway,
circulation, dll, sehingga akan
sepenuhnya menyadari mengenai pembagian waktu dalam keterlibatan mereka (American College of Surgeons, 1997). Primary survey perlu terus dilakukan
berulang-ulang pada seluruh tahapan awal manajemen. Kunci untuk perawatan
trauma yang baik adalah penilaian yang terarah, kemudian diikuti oleh pemberian
intervensi yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang melalui pendekatan AIR (assessment,
intervention, reassessment).
Primary
survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain
(Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009) :
a)
General
Impressions
·
Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa
secara umum.
·
Menentukan keluhan utama atau mekanisme
cedera
·
Menentukan status mental dan orientasi
(waktu, tempat, orang)
b)
Pengkajian
Airway
Tindakan pertama
kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien dengan mengajak
pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas.
Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien
terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan bantuan airway
dan ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi selama intubasi
endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau dada.
Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada
kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu
diperhatikan dalam pengkajian airway
pada pasien antara lain :
·
Kaji kepatenan jalan nafas pasien.
Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas dengan bebas?
·
Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan
nafas pada pasien antara lain:
ü Adanya snoring
atau gurgling
ü Stridor
atau suara napas tidak normal
ü Agitasi
(hipoksia)
ü Penggunaan
otot bantu pernafasan / paradoxical chest
movements
ü Sianosis
·
Look
dan listen bukti adanya masalah pada
saluran napas bagian atas dan potensial penyebab obstruksi :
ü Muntahan
ü Perdarahan
ü Gigi
lepas atau hilang
ü Gigi
palsu
ü Trauma
wajah
·
Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka
pastikan jalan nafas pasien terbuka.
·
Lindungi tulang belakang dari gerakan
yang tidak perlu pada pasien yang berisiko untuk mengalami cedera tulang
belakang.
·
Gunakan berbagai alat bantu untuk
mempatenkan jalan nafas pasien sesuai indikasi :
ü Chin lift/jaw thrust
ü Lakukan
suction (jika tersedia)
ü Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
ü Lakukan
intubasi
c) Pengkajian Breathing (Pernafasan)
Pengkajian pada
pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan keadekuatan
pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai, maka
langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase
tension pneumothorax/haemothorax, closure
of open chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu
diperhatikan dalam pengkajian breathing
pada pasien antara lain :
·
Look,
listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.
ü Inspeksi
dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda sebagai berikut
: cyanosis, penetrating injury, flail
chest, sucking chest wounds, dan penggunaan
otot bantu pernafasan.
ü Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur
ruling iga, subcutaneous emphysema,
perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax
dan pneumotoraks.
ü Auskultasi
untuk adanya : suara abnormal pada dada.
·
Buka dada pasien dan observasi
pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
·
Tentukan laju dan tingkat kedalaman
nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai karakter dan kualitas pernafasan
pasien.
·
Penilaian kembali status mental pasien.
·
Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
·
Pemberian intervensi untuk ventilasi
yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:
ü Pemberian
terapi oksigen
ü Bag-Valve
Masker
ü Intubasi
(endotrakeal atau nasal dengan
konfirmasi penempatan yang benar), jika diindikasikan
ü Catatan:
defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced
airway procedures
·
Kaji adanya masalah pernapasan yang
mengancam jiwa lainnya dan berikan terapi sesuai kebutuhan.
d)
Pengkajian
Circulation
Shock
didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan.
Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis shock
didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia,
pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary
refill, dan penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya
tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup aman untuk
mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung mengarahkan tim untuk
melakukan upaya menghentikan pendarahan. Penyebab lain yang mungkin membutuhkan
perhatian segera adalah: tension
pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis.
Semua perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada
pasien secara memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson & Skinner,
2000)..
Langkah-langkah
dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
·
Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika
diperlukan.
·
CPR harus terus dilakukan sampai
defibrilasi siap untuk digunakan.
·
Kontrol perdarahan yang dapat mengancam
kehidupan dengan pemberian penekanan secara langsung.
·
Palpasi nadi radial jika diperlukan:
ü Menentukan
ada atau tidaknya
ü Menilai
kualitas secara umum (kuat/lemah)
ü Identifikasi
rate (lambat, normal, atau cepat)
ü Regularity
·
Kaji kulit untuk melihat adanya
tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia (capillary
refill).
·
Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
e) Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada
primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
ü A
- alert, yaitu merespon suara dengan
tepat, misalnya mematuhi perintah yang
diberikan
ü V
- vocalises, mungkin tidak sesuai
atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
ü P
- responds to pain only (harus
dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji
gagal untuk merespon)
ü U
- unresponsive to pain, jika pasien
tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.
f) Expose, Examine dan Evaluate
Menanggalkan
pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien diduga memiliki
cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting untuk dilakukan.
Lakukan log roll ketika melakukan
pemeriksaan pada punggung pasien. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan
pemeriksaan pada pasien adalah
mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua
pemeriksaan telah selesai dilakukan,
tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika
diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011).
Dalam situasi
yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera
dilakukan:
ü Lakukan
pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
ü Perlakukan
setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien luka dan mulai
melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil atau kritis.
J.
Secondary Survey Kegawatdaruratan
Survey
sekunder merupakan pemeriksaan secara
lengkap yang dilakukan secara head
to toe, dari depan hingga belakang.
Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam
artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.
1.
Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif
didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang merupakan bagian penting dari
pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi keluhan utama, riwayat masalah
kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat keluarga, sosial, dan sistem.
(Emergency Nursing Association, 2007). Pengkajian riwayat pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan
dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien
yang terganggu, konsultasikan dengan anggota
keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat kejadian.
Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan memberikan gambaran mengenai
cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
a. Tabrakan
frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera wajah,
maksilo-fasial, servikal. Toraks, abdomen dan tungkai bawah.
b. Jatuh
dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal atau
vertebra lain, fraktur ekstremitas.
c. Terbakar
dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.
Anamnesis juga harus meliputi
riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A : Alergi
(adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M :
Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani
pengobatan
hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat
P : Pertinent medical history (riwayat medis
pasien seperti penyakit yang pernah
diderita,
obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L : Last meal (obat atau makanan yang baru
saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa
jam
sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam komponen
ini)
E : Events,
hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)
Ada beberapa cara lain untuk
mengkaji riwayat pasien yang disesuaikan dengan kondisi pasien. Pada pasien
dengan kecenderungan konsumsi alkohol, dapat digunakan beberapa pertanyaan di
bawah ini (Emergency Nursing Association,
2007):
· C. have you ever felt should Cut down your drinking?
· A. have people Annoyed you by criticizing
your drinking?
· G. have you ever felt bad or Guilty about your drinking?
· E. have you ever had a drink first
think in the morning to steady your nerver or get rid of a hangover (Eye-opener)
Jawaban
Ya pada beberapa kategori sangat berhubungan
dengan masalah konsumsi alkohol.
Pada
kasus kekerasan dalam rumah tangga akronim HITS dapat digunakan dalam proses
pengkajian. Beberapa pertanyaan yang diajukan antara lain : “dalam setahun
terakhir ini seberapa sering pasanganmu” (Emergency
Nursing Association, 2007):
· Hurt you physically?
· Insulted or talked down to you?
· Threathened you with physical harm?
· Screamed or cursed you?
BAB
III
ASUHAN
KEPERAWATAN PADA KEGAWATDARURATAN EPISTASIS
A.
Pengkajian
:
Pengkajian
Tanggal :
Hari :
Jam :
1. Identitas Klien
Nama :
Usia :
Jenis kelamin :
Pendidikan :
Suku bangsa :
Alamat :
Agama :
Diagnosa medis :
2. Pengkajian Primer
a. Airway
Penurunan
kesadaran, rembesan darah pada lubang hidung anterior, tidak ada muntahan di rongga
mulut, bunyi auskultasi paru vesikuler
b. Breathing
Tidak
ada trauma abdomen dan tidak ada trauma dada.
Do.
R
20 x per menit
Udara
terasa berhembus
Perkembangan
dada seimbang
c. Circulation
Tiba –
tiba pingsan dan mengeluarkan darah dari hidung, klien mengeluh lemas dan
sedikit pusing.
Do
.
KU
lemah
Nadi
85x permenit, TD 100/70
Nadi
terasa lemah
Perdarahan
pada kedua hidung bagian anterior
d. Disability
Riwayat
trauma kepala, terkadang mengeluh pusing
Do.
Ku
lemah, kesadaran Sopor, GCS E 3 M 5 V 3
A
: klien kesadaran sopor
V
: berbicara tidak jelas, kata – kata masih jelas
P
: respon nyeri menghindari stimulus nyeri
Reflek
cahaya pupil ada
e. Eksposure
DO
:
perdarahan
di kedua lubang hidung bagian anterior
Suhu
36, 5 C
3. Pengkajian Sekunder
TTV :TD 100/70, N : 85x permenit, S
: 36, 5, RR : 20x permenit
a. Pemeriksaan Fisik
1) Kepala
bentuk
bulat, rambut hitam panjang, tidak ada luka, tidak ada kerontokan
2) Mata
Mata
selalu menutup, berkedip – kedip tidak sadar saat bernafas, konjungtiva anemis,
sclera bening, pupil simetris, reflek cahaya miosis
3) Hidung
Perdarahan
sedang bagian anterior di kedua lubang hidung
4) Telinga
Simetris,
bersih, tidak terlihat adanya benjolan
5) Mulut
Klien
tidak memakai gigi palsu, tidak ada pendarahan atau muntahan di rongga nafas.
6) Leher
Tidak ada
pembesaran tiroid , tidak ada pembesaran kelenjar limfoid, tidak ada
peningkatan JVP
7) Dada
·
Paru
– paru
I
: nampak tidak ada lesi
P . nafas
P
: retraksi dinding dada, perkembangan
dada seimbang
A
: bunyi nafas paru
·
Jantung
I : dada simetris
A
: S1 S2 takikardi
P
: nadi perifer teraba lebih jelas
P
: redup
8) Abdomen
I :
datar
A : bising usus 12 x per menit
P : timpani
P : tidak ada masa abnormal dalam tubuh
A : bising usus 12 x per menit
P : timpani
P : tidak ada masa abnormal dalam tubuh
9) Ekstremitas
Ektremitas
atas dan bawah tidak ada kelemahan.
4. Pemeriksaan Penunjang
a.
Laboratorium
ü Pemeriksaan darah tepi lengkap.
ü Pemeriksaan foto hidung, sinus
paranasal, dan nasofaring.
7:28 AM
Student of Nurse
0 comments :
Post a Comment