Thursday, September 6, 2018


BAB II
TINJAUAN TEORI

A.    Definisi Epistasis
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung yang penyebabnya bisa lokal atau sistemik. Perdarahan bisa ringan sampai serius dan bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Sumber perdarahan biasanya berasal dari bagian depan atau bagian belakang hidung.  Epistaksis atau pendarahan dari rongga hidung sering dijumpai dan sebagian besar akan berhenti oleh tindakan sederhana seperti penekanan hidung. Meskipun demikian adapula kasus-kasus besar yang memerlukan pertolongan segera agar tidak berakibat fatal.
1.   Epistaksis ringan biasanya berasal dari bagian anterior hidung, umumnya mudah diatasi dan dapat berhenti sendiri.
2.   Epistaksis berat berasal dari bagian posterior hidung yang dapat menimbulkan syok dan anemia serta dapat menyebabkan terjadinya iskemia serebri, insufisiensi koroner dan infark miokard yang kalau tidak cepat ditolong dapat berakhir dengan kematian. Pemberian infus dan transfusi darah serta pemasangan tampon atau tindakan lainnya harus cepat dilakukan. Disamping itu epistaksis juga dapat merupakan tanda adanya pertumbuhan suatu tumor baik ganas maupun jinak. Ini juga memerlukan penatalaksanaan yang rinci dan terarah untuk menegakkan diagnosis dan menentukan modalitas pengobatan yang terbaik.
Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior (belakang). Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung dengan asal perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior umumnya berasal dari rongga hidung posterior melalui cabang a.sfenopalatina. Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa perdarahan dari lubang hidung. Epistaksis posterior seringkali menunjukkan gejala yang tidak terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk darah, anemia dan biasanya epistaksis posterior melibatkan pembuluh darah besar sehingga perdarahan lebih hebat.


B.     Etiologi
Pada banyak kasus, tidak mudah untuk mencari penyebab terjadinya epistaksis. Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa diketahui penyebabnya, kadang-kadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan kongenital.1 Etiologi epistaksis dapat dari banyak faktor, berikut penjelasannya :

      Faktor Lokal
Beberapa faktor lokal yang dapat menyebabkan terjadinya epistaksis antara lain :
·         Trauma
Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung, benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau sebagai akibat trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaanlalu lintas. Selain itu juga bisa terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan. Epistaksis sering juga terjadi karena adanya spina septum yang tajam. Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka itu sedang mengalami pembengkakan.
·         Obat semprot hidung (nasal spray)
Penggunaan obat semprot hidung secara terus menerus, terutama golongan kortikosteroid, dapat menyebabkan epistaksis intermitten. Terdapat kerusakan epitel pada septum nasi. Epitel ini akan mudah berdarah jika krusta terlepas. Pemakaianfluticasone semprot hidung selama 4-6 bulan, belum menimbulkan efek samping pada mukosa.
·         Kelainan anatomi: adanya spina, krista dan deviasi septum.
·         Tumor intranasal atau sinonasal. Sering ditandai dengan adanya riwayat epistaksis yang berulang.
·         Iritasi zat kimia, obat-obatan atau narkotika. Seperti dekongestan topikal dan kokain.
·         Iritasi karena pemakaian oksigen: Continuous Positive Airway Pressure (CPAP).
·         Kelainan vaskuler. Seperti kelainan yang dikenal dengan Wagener’s granulomatosis (kelainan yang didapat).
·         Sindrom Rendu Osler Weber (hereditary hemorrhagic telangectasia) merupakan kelainan bawaan yang diturunkan secara autosom dominan. Trauma ringan pada mukosa hidung akan menyebabkan perdarahan yang hebat. Hal ini disebabkan oleh melemahnya gerakan kontraktilitas pembuluh darah serta terdapatnya fistula arteriovenous.
·         Efek sistemik obat-obatan golongan antikoagulansia (heparin, warfarin) dan antiplatelets (aspirin, clopidogrel).
Faktor Sistemik
Hipertensi tidak berhubungan secara langsung dengan epistaksis. Arteriosklerosis pada pasien hipertensi membuat terjadinya penurunan kemampuan hemostasis dan kekakuan pembuluh darah.  Penyebab epistaksis yang bersifat sistemik antara lain:
·         Sirosis hepatis.
·         Atheroslerosis, hipertensi dan alkohol.
·         Kelainan hormonal. Seperti kelebihan hormone adrenokortikosteroid atau hormone mineralokortikoid, pheochromocytoma, hyperthyroidism atau hypothyroidism, kelebihan hormon pertumbuhan dan hyperparathyroidism. 8
Termasuk etiologi sistemik lain
·         Lebih jarang terjadi adalah gangguan keseimbangan hormon misalnya pada kehamilan, menarke dan menopause
·         kelainan kongenital misalnya hereditary hemorrhagic Telangieclasis atau penyakit Rendj-Osler-Weber;
·         Peninggian tekanan vena seperti pada ernfisema, bronkitis, pertusis, pneumonia, tumor leher dan penyakit jantung pada pasien dengan pengobatan antikoagjlansia.
Sumber Perdarahan  :
Sumber perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior rongga hidung.
Epistaksis anterior
·      Berasal dari pleksus Kiesselbach atau a.etmoidalis anterior. Perdarahan biasanya ringan, mudah diatasi dan dapat berhenti sendiri.
·      Pada saat pemeriksaan dengan lampu kepala, periksalah pleksus Kiesselbach yang berada di septum bagian anterior yang merupakan area terpenting pada epistaksis. la merupakan anastomosis cabang a.etmoidalis anterior, a.sfenopaltina, a. palatina asendens dan a.labialis superior. Terutama pada anak pleksus ini di dalam mukosa terletak lebih superfisial, mudah pecan dan menjadi penyebab hampir semua epistaksis pada anak.
Epistaksis posterior
Perdarahan biasanya lebih hebat dan jarang dapat berhenti sendiri. Umumnya berasal dari a.sfenopalatina dan a.etmoidalis posterior. Sebagian besar darah mengalir ke rongga mulut dan memerlukan pemasangan tampon posterior untuk mengatasi perdarahan. Sering terjadi pada penderita usia lanjut dengan hipertensi.
C.     Manifestasi klinis
1)      Darah keluar dari hidung dengan menetes atau mengalir dengan deras
2)      Darah dapat juga keluar lewat lubang bagian belakang yang terus menerus mengalir pada mulut dapat seperti muntahan sarah
3)      Adanya tanda – tanda penyebab diatas

D.    Patofisiologi
Terdapat dua sumber perdarahan yaitu bagian anteroir dan posterior pada epistaksis anterior perdarahan berasal dari pleksus kieselbach ( yang paling banyak terjadi dan sering ditemukan pada anak-anak ), atau dari arteri etmoidalis anterior. Biasanya perdarahan tidak begitu hebat dan bila pasien duduk darah akan keluar melalui lubang hidung. Sering kali dapat berhenti spontan dan mudah diatasi. Pada epistaksis posterior, pendarahan berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior. Espiktasis posterior sering terjadi pada pasien usia lanjut yang menderita hipertensi, arteriosklerosis, atau penyakit kardiovaskuler. Pendarahan biasanya hebatdan jarang berhenti spontan. Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan lanjut, terlihat perubahan progresif dari otot pembuluh darah tunika media menjadi jaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama. Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma. Berdasarkan lokasinya epistaksis dapat dibagi atas beberapa bagian, yaitu:
1.   Epistaksis anterior
Merupakan jenis epistaksis yang paling sering dijumpai terutama pada anak-anak dan biasanya dapat berhenti sendiri.  Perdarahan pada lokasi ini bersumber dari pleksus Kiesselbach (little area), yaitu anastomosis dari beberapa pembuluh darah di septum bagian anterior tepat di ujung postero superior vestibulum nasi. Perdarahan juga dapat berasal dari bagian depan konkha inferior. Mukosa pada daerah ini sangat rapuh dan melekat erat pada tulang rawan dibawahnya. Daerah ini terbuka terhadap efek pengeringan udara inspirasi dan trauma. Akibatnya terjadi ulkus, ruptur atau kondisi patologik lainnya dan selanjutnya akan menimbulkan perdarahan .
2.   Epistaksis posterior
Epistaksis posterior dapat berasal dari arteri sfenopalatina dan arteri etmoid posterior. Pendarahan biasanya hebat dan jarang berhenti dengan sendirinya. Sering ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriosklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler. Thornton (2005) melaporkan 81% epistaksis posterior berasal dari dinding nasal lateral.
E.     WOC
F.      Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium :
Jika perdarahan sedikit dan tidak berulang, tidak perlu dilakukan pemeriksaan penunjang. Jika perdarahan berulang atau hebat lakukan pemeriksaan lainnya untuk memperkuat diagnosis epistaksis.
1.      Pemeriksaan darah lengkap
2.      Fungsi hemostatis
3.      EKG
4.      Tes fungsi hati dan ginjal
5.      Pemeriksaan foto hidung, sinus paranasal, dan nasofaring.
6.      CT scan dan MRI dapat diindikasikan untuk menentukan adanya rinosinusitis, benda asing dan neoplasma. 
G.    Penatalaksanaan Medis
Mempunyai prinsip :
1.      Menghentikan pendarahan
2.      Mencegah komplikasi
3.      Mencegah berulang dan mencari penyebab
Penatalaksanaan :
Tentukan asal pendarahan dengan memasang tampon yang dibasahi adrenalin 1/1000 dan pontokain 2%, dibantu dengan alat penghisap. Sedapat mungkin penderita dalam posisi duduk.
Bila ternyata pendarahan berasal dari anterior :
Pasang kembali tampon yang dibasahi adrenalin 1/1000 dan pontokain 2 % selama 5-10 menit, dan ala nasi ditekan kearah septum.
Setelah tampon diangkat, asal perdarahan dikaustik dengan larutan AgNO3 20-30 % atau asam trikloroasetat 2-6 % atau dengan elektrokauter.
Bila masih berdarah, pasang tampon anterior yang terdiri dari kapas atau kasa yang diberi boorzalf atau bismuth iodin ffin paste ( bipp) tampon ini dipertahankan selama 1-2 hari ( bila menggunakan boorzalf ) atau 3-4 hari ( bila menggunakan bipp ).
Bila ternyata perdarahan berasal dari posterior :
1.      Coba atasi dengan kaustik dan tampon anterior ( lihat diatas )
2.      Bila gagal pasang tampon posterior ( beloceki ) : caranya :
- tampon ini terdiri dari gulungan kasa yang mempunyai dua benang disatu ujung dan satu benang diujung lain.
- masukkan kateter karet dari nares anterior kedalam sampai tampak diorofaring dan ditarik keluar melalui mulut.
- pada ujung kateter diikatkan salah satu dari dua benang yangb ada pasda satu ujung dan kateter ditarik kembali melalui hidung. Dengan cara yang sama benang yang lain dikeluarkan melalui hidung yang lain.
- kemudia kedua benang yang telah keluar melalui lubang hidung ituditarik, sedangkan telunjuk tangan yang lain membantu mendorong tampon kearah nasofaring, sampai tepat menutup koana
- lalu kedua benang itu diikat pada t\tampon lain yang terletak dekat sekat rongga hidung. Benang dari ujung lain dikeluarkan melalui mulut dan dilekatkan secar longgar dipipi, benang ini berguna untuk menarik keluar tampon bila kan dilepas.
- bila perlu dapat dipasang pula tampon anterior.
- penderita harus dirawat dan tampon diangkat setelah 1 sampai 2 hari. Berikan antibiotik.

Bila perdarahan menetap walaupun telah dilakukan tindakan diatas, pertimbangkan operasi ligasi arteri :
1.      untuk perdarahan anterior dilakukan ligasi arteri etmoidalis anterior dengan membuat sayatan dari bagian medial alis mata kebawah sepanjanng jembatan hidung sampai sedikitdibawah kantus internus ; setelah jaringan dipisahkan akan tampak arteri etmoidalis anterior.
8. untuk perdarahan posterior dilakukan ligasi arteri maksilaris interna dengan membuat sayatan dilipatan gingivobukal seperti pada oprasi cald well luc, setelah memasuki sinus maksilaris dinding posterior sinus diangkat sehingga tampak arteri maksilaris interna dan cabang-cabangnya diposa pterigomaksilaris.   
H.    Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan gawat darurat menjaga abc :
ü  A : airway : pastikan jalan napas tidak tersumbat/bebas, posisikan duduk menunduk.
ü  B : breathing: pastikan proses bernapas dapat berlangsung, batukkan atau keluarkan darah yang mengalir ke belakang tenggorokan
ü  C : circulation : pastikan proses perdarahan tidak mengganggu sirkulasi darah tubuh, pastikan pasang jalur infus intravena (infus) apabila terdapat gangguan sirkulasi.
Posisikan pasien dengan duduk menunduk untuk mencegah darah menumpuk di daerah faring posterior sehingga mencegah penyumbatan jalan napas.
Ø  Hentikan perdarahan
§  Tekan pada bagian depan hidung selama 10 menit.
§  Tekan hidung antara ibu jari dan jari telunjuk.
§  Jika perdarahan berhenti tetap tenang dan coba cari tahu apa faktor pencetus epistaksis dan hindari.
Ø  Jika perdarahan berlanjut :
§  Dapat akibat penekanan yang kurang kuat
§  Bawa ke fasilitas yang
§  Dapat diberikan vasokonstriktor (adrenalin 1:10.000, oxymetazolin-semprot hidung) ke daerah perdarahan.
Apabila masih belum teratasi dapat dilakukan kauterisasi elektrik/kimia (perak nitrat) atau pemasangan tampon hidung.

I.       Primary Survey Kegawatdaruratan
Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam kehidupan. Tujuan dari  Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde, 2009) :
·         Airway maintenance dengan cervical spine protection
·         Breathing dan oxygenation
·         Circulation dan kontrol perdarahan eksternal
·         Disability-pemeriksaan neurologis singkat
·         Exposure dengan kontrol lingkungan
Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah berikutnya hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan berhasil. Setiap anggota tim dapat melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai sebuah tim dan anggota yang telah dialokasikan peran tertentu seperti airway, circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya menyadari mengenai pembagian waktu dalam keterlibatan mereka (American College of Surgeons, 1997). Primary survey perlu terus dilakukan berulang-ulang pada seluruh tahapan awal manajemen. Kunci untuk perawatan trauma yang baik adalah penilaian yang terarah, kemudian diikuti oleh pemberian intervensi yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang melalui pendekatan AIR (assessment, intervention, reassessment).
Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009) :
a)   General Impressions
·         Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.
·         Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera
·         Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)

b)   Pengkajian Airway
Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada atau tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan  bantuan airway dan ventilasi. Tulang belakang leher harus dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain :
·         Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas dengan bebas?
·         Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:
ü  Adanya snoring atau gurgling
ü  Stridor atau suara napas tidak normal
ü  Agitasi (hipoksia)
ü  Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements
ü  Sianosis
·         Look dan listen bukti adanya masalah pada saluran napas bagian atas dan potensial penyebab obstruksi :
ü  Muntahan
ü  Perdarahan
ü  Gigi lepas atau hilang
ü  Gigi palsu
ü  Trauma wajah
·         Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka.
·         Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang berisiko untuk mengalami cedera tulang belakang.
·         Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai indikasi :
ü  Chin lift/jaw thrust
ü  Lakukan suction (jika tersedia)
ü  Oropharyngeal airway/nasopharyngeal airway, Laryngeal Mask Airway
ü  Lakukan intubasi

c)    Pengkajian Breathing (Pernafasan)
Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai, maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000).
Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain :
·         Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.
ü  Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda sebagai berikut : cyanosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan.
ü  Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur ruling iga, subcutaneous emphysema, perkusi berguna untuk diagnosis haemothorax dan pneumotoraks.
ü  Auskultasi  untuk adanya : suara abnormal pada dada.
·         Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu.
·         Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien.
·         Penilaian kembali status mental pasien.
·         Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan
·         Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:
ü  Pemberian terapi oksigen
ü  Bag-Valve Masker
ü  Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang benar), jika diindikasikan
ü  Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway procedures
·         Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan terapi sesuai kebutuhan.

d)   Pengkajian Circulation
Shock didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis shock didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan pendarahan. Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah: tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson & Skinner, 2000)..
Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain :
·         Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan.
·         CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan.
·         Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian penekanan secara langsung.
·         Palpasi nadi radial jika diperlukan:
ü  Menentukan ada atau tidaknya
ü  Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)
ü  Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)
ü  Regularity
·         Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia (capillary refill).
·         Lakukan treatment terhadap hipoperfusi
e)    Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities
Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU :
ü  A - alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang
diberikan
ü  V - vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa
dimengerti
ü  P - responds to pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas
awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon)
ü  U - unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri
maupun stimulus verbal.
f)     Expose, Examine dan Evaluate
Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah  mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua pemeriksaan  telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011). 
Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan:
ü  Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien
ü  Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien luka dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil atau kritis.
J.       Secondary Survey Kegawatdaruratan
Survey sekunder merupakan  pemeriksaan secara lengkap yang dilakukan secara head to  toe, dari depan hingga belakang. Secondary survey hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil, dalam artian tidak mengalami syok atau tanda-tanda syok telah mulai membaik.
1.    Anamnesis
Pemeriksaan data subyektif didapatkan dari anamnesis riwayat pasien yang merupakan bagian penting dari pengkajian pasien. Riwayat pasien meliputi keluhan utama, riwayat masalah kesehatan sekarang, riwayat medis, riwayat keluarga, sosial, dan sistem. (Emergency Nursing Association, 2007). Pengkajian riwayat pasien secara optimal harus diperoleh langsung dari pasien, jika berkaitan dengan bahasa, budaya, usia, dan cacat atau kondisi pasien yang terganggu, konsultasikan dengan anggota keluarga, orang terdekat, atau orang yang pertama kali melihat kejadian. Anamnesis yang dilakukan harus lengkap karena akan memberikan gambaran mengenai cedera yang mungkin diderita. Beberapa contoh:
a.    Tabrakan frontal seorang pengemudi mobil tanpa sabuk pengaman: cedera wajah, maksilo-fasial, servikal. Toraks, abdomen dan tungkai bawah.
b.    Jatuh dari pohon setinggi 6 meter perdarahan intra-kranial, fraktur servikal atau vertebra lain, fraktur ekstremitas.
c.    Terbakar dalam ruangan tertutup: cedera inhalasi, keracunan CO.
Anamnesis juga harus meliputi riwayat AMPLE yang bisa didapat dari pasien dan keluarga (Emergency Nursing Association, 2007):
A  : Alergi (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester, makanan)
M : Medikasi/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang menjalani
pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau penyalahgunaan obat
P   : Pertinent medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang pernah
diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan herbal)
L  : Last meal (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi, dikonsumsi berapa
jam sebelum kejadian, selain itu juga periode menstruasi termasuk dalam komponen ini)
E  :  Events, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera (kejadian yang
menyebabkan adanya keluhan utama)
Ada beberapa cara lain untuk mengkaji riwayat pasien yang disesuaikan dengan kondisi pasien. Pada pasien dengan kecenderungan konsumsi alkohol, dapat digunakan beberapa pertanyaan di bawah ini (Emergency Nursing Association, 2007):
·      C. have you ever felt should Cut down your drinking?
·      A. have people Annoyed  you by criticizing your drinking?
·      G. have you ever felt bad or Guilty about your drinking?
·      E. have you ever had a drink first think in the morning to steady your nerver or get rid of a hangover (Eye-opener)
Jawaban Ya pada beberapa kategori  sangat berhubungan dengan masalah konsumsi alkohol.
Pada kasus kekerasan dalam rumah tangga akronim HITS dapat digunakan dalam proses pengkajian. Beberapa pertanyaan yang diajukan antara lain : “dalam setahun terakhir ini seberapa sering pasanganmu” (Emergency Nursing Association, 2007):
·      Hurt you physically?
·      Insulted or talked down to you?
·      Threathened you with physical harm?
·      Screamed or cursed you?













BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN PADA KEGAWATDARURATAN EPISTASIS
A.     Pengkajian :
Pengkajian
Tanggal                             :
Hari                                   :
Jam                                    :

1.      Identitas Klien
Nama                                 :
Usia                                   :
Jenis kelamin                     :
Pendidikan                        :
Suku bangsa                      :
Alamat                              :
Agama                               :
Diagnosa medis                 :

2.      Pengkajian Primer
a.       Airway
Penurunan kesadaran, rembesan darah pada lubang hidung anterior, tidak ada muntahan di rongga mulut, bunyi auskultasi paru vesikuler
b.      Breathing
Tidak ada trauma abdomen dan tidak ada trauma dada.
Do.
R 20 x per menit
Udara terasa berhembus
Perkembangan dada seimbang
c.       Circulation
Tiba – tiba pingsan dan mengeluarkan darah dari hidung, klien mengeluh lemas dan sedikit pusing.
Do .
KU lemah
Nadi 85x permenit, TD 100/70
Nadi terasa lemah
Perdarahan pada kedua hidung bagian anterior
d.      Disability
Riwayat trauma kepala, terkadang mengeluh pusing
Do.
Ku lemah, kesadaran Sopor, GCS E 3 M 5 V 3
A : klien kesadaran sopor
V : berbicara tidak jelas, kata – kata masih jelas
P : respon nyeri menghindari stimulus nyeri
Reflek cahaya pupil ada
e.       Eksposure
DO :  
perdarahan di kedua lubang hidung bagian anterior
Suhu 36, 5 C

3.      Pengkajian Sekunder
TTV :TD 100/70, N : 85x permenit, S : 36, 5, RR : 20x permenit

a.       Pemeriksaan Fisik
1)      Kepala
bentuk bulat, rambut hitam panjang, tidak ada luka, tidak ada kerontokan
2)      Mata
Mata selalu menutup, berkedip – kedip tidak sadar saat bernafas, konjungtiva anemis, sclera bening, pupil simetris, reflek cahaya miosis
3)      Hidung
Perdarahan sedang bagian anterior di kedua lubang hidung
4)      Telinga
Simetris, bersih, tidak terlihat adanya benjolan
5)      Mulut
Klien tidak memakai gigi palsu, tidak ada pendarahan atau muntahan di rongga nafas.
6)      Leher
Tidak ada pembesaran tiroid , tidak ada pembesaran kelenjar limfoid, tidak ada peningkatan JVP
7)      Dada
·         Paru – paru
I   : nampak tidak ada lesi
P  . nafas
P : retraksi dinding dada, perkembangan dada seimbang
A : bunyi nafas paru
·         Jantung
I   : dada simetris
A : S1 S2 takikardi
P : nadi perifer teraba lebih jelas
P : redup
8)      Abdomen
I   : datar
A : bising usus 12 x per menit
P  : timpani
P : tidak ada masa abnormal dalam tubuh
9)      Ekstremitas
Ektremitas atas dan bawah tidak ada kelemahan.

4.      Pemeriksaan Penunjang
a.       Laboratorium
ü  Pemeriksaan darah tepi lengkap.
ü  Pemeriksaan foto hidung, sinus paranasal, dan nasofaring.






0 comments :

Post a Comment